Melagukan Al-Quran (Irama dan Maqamat dalam Tilawah)

Susunan Nada Maqamat

Melagukan atau membaca Al-Quran dengan irama itu ada dua macam:

1. Irama yang mengikuti tabiat asli manusia, tanpa memberat-beratkan diri, belajar atau berlatih khusus. Melagukan bacaan Al-Qur’an seperti ini dibolehkan.

Irama ini lahir karena seringnya membaca dan mendengar. Allaah ‘azza wa jalla telah menganugerahi setiap manusia dengan iramanya masing-masing. Walaupun setiap orang memiliki kecenderungan pada salah satu jenis irama tertentu, namun ia mendapatkan irama tersebut secara natural, bukan latihan.

Irama seperti inilah yang disenandungkan para Sahabat dan Ulama Salaf. Dengan irama jenis inilah yang Rasuulullaahi shallallaahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan kita untuk menghiasi Al-Quran.

Dari Abu Lubabah Basyir bin ‘Abdul Mundzir radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالقُرْآنِ فَلَيْسَ مِنَّا

“Barangsiapa yang tidak memperindah suaranya ketika membaca Al-Quran, maka ia bukan dari golongan kami.” [HR. Muslim dan Abu Daud]

2. Irama yang dibuat-buat, bukan dari tabiat asli, diperolah dari latihan khusus sebagaimana para penyanyi berlatih untuk mahir dalam mendendangkan lagu.

Melagukan semacam ini tidak disukai oleh para ulama salaf, mereka mencela dan melarangnya. Para ulama salaf dahulu mengingkari cara membaca Al-Quran dengan dibuat-buat seperti itu, karena termasuk bagian dari takalluf.

Selain itu, irama-irama yang dijadikan dasar latihan berasal dari dunia musik, yang para Ulama Salaf tidak menyukai hal tersebut. Maka, menempatkan sesuatu yang mulia (Al-Quran) kepada sesuatu yang hina (musik), dapat termasuk menghinakannya.

Kita tidak pernah diperintahkan mempelajari irama-irama tersebut secara khusus. Para Sahabat ridhwanullaahi ‘alayhim ajma’in telah melagukan Al-Quran dengan senandung yang indah, sebelum orang-orang Arab mengenal irama-irama musik yang kita kenal sebagai maqamat musiqiyah ini.

Selain itu, meluangkan waktu khusus untuk mempelajari irama musik dikhawatirkan dapat melalaikan seseorang dari hal-hal yang lebih bermanfaat dari mempelajari ilmu syar’i, baik itu aqidah, tajwid, tafsir, hadits, fikih dan selainnya yang wajib bagi kita mempelajarinya.

Jadi, tidak menyandarkan irama bacaan Al-Quran pada salah satu maqam di antara maqamat musiqiyah, bukan berarti membaca Al-Quran benar-benar datar, seperti berbicara biasa, tanpa melagukannya. Karena Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan kita untuk melagukan bacaan Al-Quran. Dan para Sahabat telah membaca Al-Quran dengan irama-irama yang indah jauh sebelum maqamat musiqiyah dikenal oleh orang-orang Arab.

Tidak menggunakan maqamat musiqiyah saat membaca Al-Quran adalah membacanya sesuai dengan irama yang natural yang berasal dari diri kita. Tanpa harus terbebani tausyih atau meniru-niru irama orang lain yang tidak sesuai dengan tabiat kita sendiri. Karena hal tersebut termasuk takalluf dan ta’assuf yang tidak disukai dalam tilawah.

Dengan banyaknya tilawah dan seringnya mendengar murattal, maka seseorang akan menemukan irama yang paling seauai dengan tabiat dirinya. Maka senandungkanlah Al-Quran dengan irama tersebut. Persoalan bila kemudian irama itu mirip dengan salah satu maqam di antara maqamat musiqiyah, sudah bukan lagi menjadi sebuah masalah, karena sejak awal kita tidak berniat untuk menempatkan maqamat musiqiyah sebagai wadah tilawah kita. Dan tidak perlu kita menyebut bacaan tersebut sebagai maqam anu dan anu.

Inilah maksud dari larangan melagukan Al-Quran. Yakni melarangnya bila dengan menyengaja memasukkan bacaan Al-Quran ke dalam maqamat musiqiyyah. Karena irama Al-Quran bukanlah bagian dari musik. Syaikh Ayman Suwaid menukil ucapan As-Sakhawi (murid Imam Asy-Syathibi) dalam salah satu ceramahnya: “Irama pokok maqamat itu ada 7 (tujuh), sedangkan irama Al-Quran adalah yang ke-8 (delapan).” (Atau sebagaimana perkataan beliau).

Hal ini menunjukkan bahwa irama Al-Quran adalah sesuatu dan maqamat musiqiyyah adalah seauatu yang lain.

Namun demikian, kami mengakui bahwa dalam hal ini ada sebagian Ulama, termasuk sebagian guru kami, yang memberikan keringanan dengan membolehkan penggunaan maqamat musiqiyyah selama bacaannya tidak keluar dari kaidah-kaidah tajwid. Karena itu, bagi yang masih ingin mempelajari maqamat, kami ingin memberikan saran dan masukan:

  1. Jangan sampai mempelajari maqamat membuat kita melalaikan menuntut ilmu yang jauh lebih penting darinya, khususnya ilmu-ilmu syar’i yang diwajibkan atas setiap muslim.
  2. Hendaknya mempelajari tajwid terlebih dahulu, dari makharij, sifat, dan hukum-hukumnya agar menjaga bacaan tetap tartil.
  3. Bila antara kaidah tajwid dengan kaidah maqamat terjadi pertentangan pada bacaan tertentu, wajib untuk mengikuti kaidah tajwid dan meninggalkan kaidah maqamat.
  4. Hendaknya membaca dengan maqamat bukan untuk mendapatkan kemuliaan di sisi manusia, melainkan untuk mempermudah dalam tadabbur agar hati senantiasa terjaga keikhlasannya.

Semoga Allaah azza wa jalla membimbing kita untuk senantiasa dekat dengan kalam-Nya yang mulia. Menjadikan Al-Quran sebagai hujjah bagi kita di akhirat kelak, bukan menghujat kita. Aamiin.

Malam takbir idul fithri 1438 H
Cukanggenteng, Pasir Jambu, Kab. Bandung

– Laili Al-Fadhli –

تقبل الله منا و منكم صالح الأعمال
كل عام و أنتم بخير
عيد المباراك

➖➖➖➖➖

✍🏻 Tulisan di atas banyak mengambil faidah dari ceramah-ceramah Syaikh Ayman Suwaid tentang maqamat dan terutama dalam acara dialog beliau dengan Syaikh Al-Mi’sharawy.

✍🏻 Pendapat bahwa irama terbagi menjadi dua jenis merupakan pendapat beberapa Ulama, di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah dalam Zaadul Ma’aad.

Sumber : https://alfadhli.wordpress.com/2017/08/21/melagukan-al-quran-irama-dan-maqamat-dalam-tilawah/